Rabu, 31 Desember 2008

hallo wong kudus salam kenal dari keluarga sedulur kudus di bengkulu
salam
agussetiyanto
kunjungi kami : agussetiyantoz@yahoo.com

wong kudus: allow2,, lagi bikin nih.. ^^

wong kudus: allow2,, lagi bikin nih.. ^^

Selasa, 23 Desember 2008

MELURUSKAN SEJARAH KOTA BENGKULU

MELURUSKAN SEJARAH KOTA BENGKULU
Agus Setiyanto
Jangan pernah bilang bahwa sejarah itu ilmu yang statis. Sebaliknya, sejarah bisa berubah seperti jargonnya minuman “coca-cola” (kapan saja, di mana, dan siapa saja). Kata kuncinya terletak pada dinamisasi status faktanya. Yang kemarin dianggap sebagai “ hard fact” (fakta keras – fakta yang tak terbantahkan), suatu saat bisa berubah jika ditemukannya historical-sources (bukti-bukti sejarah) yang lebih faktual sebagai fakta baru. Apalagi yang statusnya baru “cold fact” (fakta lunak – fakta yang masih bisa digoyang- dirubah).
Lalu, bagaimana dengan HUT Kota Bengkulu yang sudah ditetapkan pada setiap tanggal 17 Maret. Dalam perspektif kesejarahan, penetapan tanggal 17 Maret tersebut, ternyata tidak akurat – bahkan cenderung direkayasa. Konon kabarnya, karena pada saat itu, belum – tidak diketemukan sumber sejarah yang menyebutkan tanggal, lalu disepakati bersama untuk mengambil tanggal yang dianggap keramat, yaitu tanggal 17. Padahal ada bukti catatan arsip sejarah, yaitu dari “ Letters to Ft. St. George 14, Thomas Cook Negapatam, 28 June 1719, 67-68” (J. Kathirithamby – Wells, “The British West Sumatran Presidency (1760-85)”, Kuala Lumpur: Universiti Malaya, 1977: hlm.39-401977: 39-40) – yang juga disitir oleh Abdullah Siddik dalam bukunya “Sejarah Bengkulu 1500 –1900” Jakarta: Balai Pustaka, 1996, hlm.46-47.
Menurut sumber sejarah di atas, disebutkan bahwa, Jauh sebelum peristiwa penyerbuan rakyat Bengkulu ke Fort Marlborough pada tanggal 23 Maret 1719, ketegangan sosial telah terjadi antara para penguasa pribumi Bengkulu, khususnya rakyat Selebar. Ketegangan hubungan antara pihak Inggris dengan Pangeran Ingallo (Jenggalu?) – alias Pangeran Nata Diradja penguasa dari Selebar, berawal dari hubungan kontrak – perjanjian dagang. Pihak Inggris tidak senang bahkan merasa dirugikan karena Pangeran Selebar masih menjalin hubungan dagang dengan pihak Belanda. Disinyalir, rakyat Selebar serta anak keturunannya Pangeran Nata Diradja menaruh dendam atas kematian Pangeran Selebar yang diduga dibunuh oleh Inggris di Fort York pada tanggal 4 Nopember 1710.
Puncaknya ketegangannya, pada malam hari tanggal 23 Maret 1719, Fort Marlborough diserbu sekitar 80 orang yang sebagian besar diperkirakan dari suku Lembak dan Selebar – yang mengakibatkan orang-orang Inggris melarikan diri ke Batavia dan Madras. Tokoh yang diduga kuat sebagai pemimpin penyerbuan Fort Marlborough itu antara lain : Pangeran Mangkuradja dari Sungai Lemau, Pangeran Intan Ali dari Selebar, Pangeran Sungai Itam, dan juga Syed Ibrahim (Siddy Ibrahim ) yang disebutkan sebagai seorang ulama besar yang punya pengaruh pada.
Yang menjadi persoalan adalah : Benarkah kota Bengkulu itu baru lahir pada tahun 1719 ? Apakah sebelum tahun 1719 nama Bengkulu tidak pernah disebut-sebut atau dikenal orang ? Bagaimana dengan sebutan Bencoolen, dan Bangkahoeloenya ? Kalau pertanyaan itu terjawab secara akurat, maka hari jadi kota Bengkulu akan lebih tua lagi umurnya, dan lebih antik lagi. Paling tidak, sebelum tahun 1719, nama Bengkulu sudah disebut dan dikenal dalam sejarah. Misalnya, orang-orang Inggris yang datang ke Bengkulu sejak tahun 1685 sudah menyebutnya dengan nama Bencoolen (P. Wink: 1924). Bahkan jauh sebelumnya lagi, bukankah sudah ada hubungan antara Bengkulu dengan Banten ? Demikian juga masyarakat pribumi Bengkulu itu sendiri … SEKIAN !

TABOT WISATA

TABOT WISATA
(Agus Setiyanto)

Berbicara tentang tourist art (seni wisata), khususnya di Indonesia, Bali dan Yogya merupakan contoh yang paling menarik, karena sudah kondang sebagai gateway (pintu gerbang) nya arus wisatawan baik domestik maupun manca. Yogya punya maskot seni sendratari Ramayana Prambanan, dan Bali punya maskot Tari Cak (Kecak) dan Tari Barong. Ketiga maskot tersebut, semula adalah seni pertunjukan tradisional yang sifatnya total ritual. Tetapi, dalam perkembangannya, untuk menarik wisatawan, kemudian dikemas menjadi paket seni wisata (tourist art). Umumnya, alasan utama yang dipakai untuk membuat packaged (kemasan) seni wisata tersebut, dikaitkan dengan kebutuhan selera wisatawannya. Biasanya, kunjungan wisatawan ke suatu tempat wisata, ingin menikmati sebanyak-banyaknya sesuatu yang unik, menarik dalam waktu yang relatif singkat, dan murah (Kayam, 1981:179). Oleh sebab itu, diperlukan sebuah kemasan seni wisata yang mini, singkat, padat, dan penuh variatif. Bahkan Wayang Kulit di Jawa (Yogya) yang seharusnya dipentaskan semalam suntuk, kemudian dikemas secara padat menjadi dua jam, bahkan di Jawa Barat, wayang golek mampu disajikan dalam durasi 15 menit. Demikian juga dengan tari Cak dan tari Barong di Bali yang semula hanya dipertunjukkan pada waktu-waktu tertentu, kini bisa dinikmati setiap hari oleh wisatawan. Dan bentuk penyajian seninya tidak harus berupa karya cita baru, melainkan hasil reproduksi yang sudah ada (Soedarsono, 1986:5). Dengan disiapkannya paket seni wisata tersebut, maka wisatawan dapat menikmati kapan saja, tanpa harus kehilangan waktu untuk menunggu terlalu lama.
Nah, bagaimana dengan budaya Tabot Bengkulu ? Sudah siapkah seni pertunjukan Tabot Bengkulu dikemas menjadi Tabot tourist art ? Barangkali sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mungkin harus dijawab dulu pertanyaan yang satu ini, yaitu: sudah seberapa deras arus wisatawan yang masuk ke Bengkulu hingga sekarang ini ? Kalau memang Bengkulu sudah masuk dalam kategorisasi sebagai gateway-nya arus wisatawan, maka kebijakan untuk mengemas tourist art perlu segera dipertimbangkan. Sebab, tourist art ini merupakan alternatif yang tepat untuk memenuhi kebutuhan selera wisatawan.
Di samping itu, juga sangat diperlukan adanya kerjasama yang kompak di antara pihak-pihak yang terkait secara langsung dengan wisatawan, seperti pihak Dinas Pariwisata, pihak biro travel (ASITA), dan Hotel (PHRI), serta para senimannya. Dengan kata lain, harus ada sharing (pembagian keuntungan) yang didapat dari pihak wisatawan, seperti pihak biro travelnya yang memperleh keuntungan secara langsung melalui usahanya di bidang transportasi.
Pihak Dinas Pariwisata pun harus membina kerjasama dengan para seniman maupun budayawan dalam rangka memberdayakan obyek-obyek wisata yang dipasarkan agar mampu meningkatkan daya tarik bagi wisatawan.
Sebab, pariwisata itu merupakan sebuah industri, sedangkan produknya adalah seni budaya. Satu hal yang perlu dicermati adalah mengenai kebutuhan selera wisatawan yang relatif banyak. Kebutuhan menikmati pemandangan alam yang indah, melihat Museum, melihat bekas-bekas peninggalan sejarah, ingin bersantai dan berjemur di pantai yang nyaman, ingin menikmati seni pertunjukan rakyat, ingin membeli souvenir yang khas di art show (warung seni), ingin mendapatkan buku-buku literatur tentang cerita, sejarah dan budaya daerah setempat, menikmati makanan khas (wisata kuliner), dan lain-lain. Semuanya itu butuh perhatian dan penggarapan yang serius, agar wisatawan yang sudah berkunjung merasa puas dan memiliki kenangan yang mendalam.
Dan kenangan yang telah menjadi bagian dari slogan Bengkulu sebagai kota Semarak – kota Wisata itu, tidak sekedar terucap di bibir atau tercetak di kertas saja, tetapi benar-benar terpendam di lubuk hati khususnya para wisatawan..…SEKIAN!